Catherine masih berbaring di atas kasurnya, sepasang earphone
tergantung di telinganya. Lagu Favorite Girl dari Justin Bieber mengalun pelan
dari iPod merahnya. Dia menghela nafas panjang, kemudian melepaskan diri dari
rumus-rumus Fisika yang baru dibacanya. Dengan agak lelah, Catherine meraih
Toshiba Qosmio-nya dan mulai browsing. Saat dia sedang membuka situs
puisi kesukaannya, matanya tertumbuk pada judul salah satu puisi. Perpisahan.
Cewek itu tersentak. Dia baru ingat perkataan Papa
tiga hari yang lalu, saat sang ayah berkata bahwa mereka akan pindah ke Oxford karena
sang ayah ada pekerjaan disana. Dia belum memberitahukan hal ini pada siapapun,
bahkan pada Zora, cowok usil sahabatnya sejak kecil.
“ Bagaimana caranya gue memberitahu dia, ya?” gumam
Catherine lirih, mengambil foto kecil yang tergeletak di atas meja kecil di
samping kasurnya.
Seorang cowok tersenyum lebar kea rah kamera sambil
memeluk pundak seorang cewek yang juga tersenyum. Danau dan hutan menjadi background
foto itu. Foto itu diambil saat mereka pergi berlibur ke danau Bedugul, Bali.
Catherine terus menatap foto itu hingga ia jatuh tertidur
SMP Tunas Bangsa masih sepi saat Catherine tiba,
padahal arloji kecil di tangan kirinya telah menunjukkan jam 6:50 pagi.
Rata-rata murid-muridnya malas masuk kelas sebelum bel berdering dan memilih
nongkrong di warung-warung di depan sekolah. Tanpa meletakkan tas jinjingnya
terlebih dahulu, dia langsung melesat ke belakang sekolah.
Sebuah pohon beringin besar berdiri di taman belakang
sekolah yang sepi. Rumah pohon berukuran sedang berdiri kokoh diantara dahan-dahannya.
Kata orang-orang, pohon itu angker, tapi Catherine tak peduli. Dia dan
sahabatnya malah menganggap rumah pohon itu sebagai tempat nongkrong yang
paling asyik karena jauh dari keramaian. Begitu sampai di depan pohon,
Catherine meraih tangga tali yang terjulur dan dengan lincah memanjat ke atas.
Sesampainya di atas, dia melihat seorang cowok yang duduk membelakangi dirinya.
Tangannya bergerak-gerak diatas kertas putih besar, sketsa pemandangan tercetak
di atasnya. Tanpa suara, Catherine mengendap-endap dan berdiri di belakang
cowok itu yang sama sekali tak menyadari kedatangan Catherine.
“ Zora!” teriak Catherine keras, mengagetkan Zora yang
sedang asyik menggambar. Tanpa sengaja dia mencoret gambarnya endiri,
menyisakan garis panjang yang merusak gambar hampir sempurna itu. Zora
cemberut, menatap Catherine yang cekikikan senang.
“ Damn! Ngaget-ngagetin aja lo! Persis banget
sama kucing!” seru Zora marah. Dia ingin kembali menggambar, tapi begitu
melihat cacat besar dalam gambarnya, dia hanya mengeluh pelan. Cat –panggilan
Zora pada Catherine yang sering mengendap-endap seperti kucing- duduk di
samping Zora, masih meyisakan sedikit tawa.
“ Sori, sori. Lagian lo khusyuk banget sih, sampe
nggak menyadari kehadiran gue.” Zora mendengus keras, kembali menekuni
gambarnya yang rusak parah.
“ Ehm, boleh gue ngomong? Pentiiing banget. Serius!”
“ Emang lo pernah serius?” sindir Zora, rupanya masih
sedikit dongkol. Tapi dia langsung terdiam begitu melihat Cat yang diam dan
menerawang ke depan. Dia begitu hafal ekspresi Catherine yang satu itu.
Akhirnya, Catherine pun mulai bercerita. “ Tiga hari
yang lalu, Papa ngomong sesuatu. Beliau bilang bahwa beliau akan bekerja di
Oxford. Terpaksa gue ikut. Jadi gue akan pindah setelah acara kelulusan lima
hari lagi.” Beban berat yang mengganjal di hatinya sedikit terangkat. Tetapi
beban baru kembali membebani dirinya saat melihat Zora yang menatapnya dengan
tajam. Catherine tak suka dengan ekspresi Zora yang satu itu. Akhirnya dia
berpaling dan menatap langit yang lama-kelamaan semakin terang, membiarkan
sahabatnya untuk berpikir.
Suara Zora membuat Cat menoleh. Dia tahu Zora baru
saja bicara padanya, tapi karena tadi dia sedang melamun, ia pun tak
mendengarnya.
“ Lo bilang apa tadi?”
“ Kenapa lo baru ngomong sekarang?” Zora bertanya lagi
sambil terus menatap Cat, membuat cewek itu bergerak-gerak gelisah. Bel
berdering di kejauhan, tapi Zora tak peduli. Toh dia berniat bolos hari ini.
Catherine tak bisa menjawab pertanyaan cowok itu.
Berbagai alasan yang dipikirkannya tak cukup meyakinkan. Zora lalu beranjak
sambil membawa alat-alat gambarnya, meninggalkan Catherine yang menatapnya
dengan perasaan bersalah.
Dua hari
sebelum kelulusan, 05:10 pm, di rumah pohon
Catherine berjalan pelan menyusuri sekolahnya yang
sudah sepi. Rumahnya dan rumah Zora memang dekat dengan sekolah. Dengan gontai,
dia memanjat rumah pohon itu dan tak taerkejut saat melihat Zora tidak ada
disana. Beberapa hari ini, cowok itu memang seperti sedang menjauhi dirinya.
Dan Catherine tidak suka, sangat benci malah, pada
keadaan seperti ini. Di hari-hari terakhirnya di Indonesia, dia sebenarnya
ingin selalu bersama Zora, bukannya saling berjauhan seperti ini. Biasanya tiap
sore dia dan Zora nongkrong di rumah pohon itu sambil memandang sunset
yang fantastis, dan saling ngobrol.
Kenapa jadi begini, sih? batin Catherine bertanya-tanya,
dan ia mulai menangis saat ia teringat semua kenangannya saat bersama zora. Air
matanya turun tanpa dapat dicegahnya. Lalu ia jatuh terduduk, dan mendekap
lututnya sendiri.
Seseorang tiba-tiba saja memeluknya, membuatnya
sedikit kaget. Tapi beberapa detik kemudian dia mulai rileks. Bau itu adalah
wangi khas tubuh Zora. Pelukan itu adalah pelukan lembut Zora yang senantiasa
menenangkan batinnya. Cat beringsut, memeluk Zora lebih erat, dan menangis
lebih kencang. Zora jadi bingung.
“ Hey, kok malah makin kenceng nangisnya? Udah-udah,”
ujar Zora lembut, mengelus rambut Catherine. “ maafin gue ya?”
Pernyataan maaf dari Zora membuat Catherine mengangkat
kepalanya dari dada Zora, lalu menatapnya dengan mata yang sedikit bengkak.
Zora balas menatapnya dengan lembut.
“ For what?”
“ Maaf karena gue egois. Seharusnya gue nemenin lo
selama hari-hari ini, bukannya marah-marah sama lo. Maafin gue ya?” ucap Zora
sambil menghapus sisa-sisa air mata di wajah sahabatnya itu. Catherine hanya
diam, kemudian memeluk cowok itu dengan lebih erat.
“ Gue nggak marah kok. Gue cuma sedih aja, sebentar
lagi gue nggak bisa lihat wajah jahil lo lagi.”
Perkataan terakhir Catherine membuat Zora mendapat ide
cemerlang.
“ Tenang aja. Gue akan buat sesuatu yang spektakuler
besok.”
Esoknya, Catherine berangkat ke sekolah dengan
perasaan was-was. Pengalaman membuktikan, ide-ide Zora kebanyakan malah
menimbulkan kekacauan. Pernah saat pensi dulu, Zora mengundang banyak topeng
monyet. Tapi yang terjadi, monyetnya malah banyak yang kabur dan mengacaukan
suasana.
Semoga bukan ide yang ekstrem, batin Catherine lalu membuang
semua pikiran-pikiran negatifnya.
Di lain pihak, Zora sedang menyiapkan kejutannya. Dia
menatap hasil karyanya, dan tersenyum puas.
“ Oke, semuanya stand by di posisi
masing-masing. Sebentar lagi teman kecil kita akan datang!” seru Zora,
memberikan instruksi. Dalam hatinya dia bergumam, lo pasti akan terkejut,
Cat!
Catherine kaget. Sangat kaget. Dalam benaknya, begitu
ia sampai di gerbang sekolah dia akan disambut oleh ramainya orang. Tapi begitu
ia sampai di kawasan sekolah, tak nampak satupun orang. Hanya ada pengumuman
yang ditulis diatas papan tulis putih. Isinya:
Catherine, pergi ke gedung pertemuan jika kamu ingin
tahu seperti apa hadiahmu. By zora
Walaupun pikirannya penuh tanya, Cat tetap
melangkahkan kakinya menuju gedung pertemuan. Sesampainya disana, ia agak ragu
untuk memasukinya. Pasalnya, gedung pertemuan yang biasanya terang, kini gelap
gulita. Dengan agak takut, Catherine melangkah masuk.
Tiba-tiba di kejauhan muncul satu nyala api diikuti
dengan nyala api yang lain. Catherine terperangah. Semua orang ternyata ada
disana sambil membawa masing-masing satu lilin. Zora tiba-tiba saja sudah
berada di hadapannya dengan senyum lebar. Tanpa dikomandoi, terdengar koor yang
membahana.
Waktu terasa semakin berlalu
Tinggalkan cerita tentang kita
Seakan tiada lagi kini tawamu
Tuk hapuskan semua sepi di hati
Zora merangkul Catherine yang mulai menangis, tak tahu
harus sedih, terharu, atau bahagia. Zora mengelus rambutnya dengan lembut,
berusaha menenangkannya.
Ada cerita
Tentang aku dan dia
Saat kita bersama
Saat dulu kala
Suara serak disampingnya membuat Zora menoleh.
Catherine mulai ikut bernyanyi diselingi dengan sesenggukan. Cat menatap Zora
yang juga menatapnya.
“ Gue pasti kesepian disana. Terus kabari gue lewat e-mail
ya?”
“ Hah, cuma e-mail!? Kamu minta gajah pun bakal
aku kirimin kok!” kelakar Zora, membuat Cat tertawa. Dia memeluk Zora dengan
lebih erat.
“ Kamu adalah sahabat terbaik yang pernah kupunya,”
ujar Catherine.
“ Kamu juga sahabatku yang paling hebat,” timpal Zora,
mempererat pelukannya.
Ada cerita
Tentang masa yang indah
Saat kita berdua
Saat kita tertawa
Teringat disaat kita tertawa bersama
Ceritakan semua tentang kita
0 komentar:
Posting Komentar