Aku selalu melihat orang tua itu, berjalan sempoyongan, terkadang
tertawa sendiri, tak jarang pula ia berteriak-teriak tak jelas. Semua orang di
desa ini menyebutnya orang gila. Pakaiannya terdiri dari kain belacu yang sudah
kumal, yang dilapisi dengan jas hitam penuh tambalan. Celana yang dikenakannya
pun hanya celana olahraga yang sobek disana-sini. Bukan main lusuhnya. Satu
waktu, ia membawa karung goni yang terisi rongsokan plastik. Di lain waktu, ia
memegang tongkat yang ia ayunkan kesana kemari. Pak Khodir atau Pandir.
Kudengar itulah namanya. Nama yang aneh, menurutku. Seaneh perilakunya. Bukan
main anehnya. Sesekali, ia membantu warga menyapu halaman yang kotor. Tapi tak
jarang pula, ia buang air di pelataran dan balkon rumah warga. Ada kalanya, ia
senang bermain dengan anak-anak kecil disini. Tapi ada kalanya pula, ia akan
mengejar dan melempari anak-anak itu dengan batu. Bukan main kelakuannya. Masyarakat
bingung, apakah harus senang atau marah. Membiarkannya, atau mengusirnya.
Memujinya, atau mencaci-maki dirinya. Walaupun perilakunya sangat aneh dan
membingungkan, tapi ada satu hal yang kukagumi dari Pandir. Dia hafal Alquran!
Bukan main! Pandir sering membaca Alquran secara tartil saat sedang berjalan-jalan
dan bermain. Suaranya, di luar dugaan, sangat merdu. Sering Pandir ditanggap
oleh warga untuk membaca Alquran atau sholawatan. Pak RT pernah menguji hafalan
Alqurannya dengan menyebutkan beberapa ayat dari Alquran. Dengan mudahnya,
Pandir meneruskan ayat yang ditanyakan oleh Pak RT (tentunya sambil bertingkah
aneh, seperti ngupil dan sejenisnya). Hanya satu orang di desa ini yang
bisa membuat Pandir nurut, yaitu Mbah Tresno.
Jangan kau kira Mbah Tresno itu orang yang yang galak karena
berhasil ‘menjinakkan’ Pandir. Bukan. Jangan kau kira juga Mbah Tresno itu
orang yang punya ilmu sakti mandraguna karena sukses ‘menundukkan’ Pandir.
Sekali-kali, bukan, Kawan. Mbah Tresno sama ‘uniknya’ dengan Pandir.
Mbah Tresno sangat pas jika disesuaikan dengan julukan ‘Otot Kawat
Balung Tok’. Sangat sesuai, kau tahu. Perawakannya tinggi tegap, tapi hampir
tak ada daging yang menempel di tulang-belulangnya. Kulitnya hitam legam karena
sering terpapar sinar matahari. Pekerjaannya sangat mulia dalam membantu berkurangnya
sampah di muka bumi ini: Pemulung. Ada dua hal yang sangat khas dan dikenal
oleh semua orang di desa ini dari Mbah Tresno. Yang pertama adalah meludah. Ya,
meludah. Tak peduli tempat, tak peduli waktu, tak peduli siapa. Mbah Tresno
akan meludahi siapa saja dan dimana saja saat beliau tak berkenan atau sedang
marah. Pak Kepala Desa dan salah satu tokoh agama di desa ini pun tak luput
dari ‘tembakan’ ludahnya. Pernah dulu, ada seorang calon legislatif yang
berkunjung ke desa kami ini. Maklumlah, saat itu mendekati waktu pemilihan umum
dan banyak caleg yang tebar pesona di desa kami. Tak dinyana, tak disangka,
tiba-tiba Mbah Tresno njedul dan tanpa tedeng aling-aling
langsung meludahi wajah si caleg. Bukan main merahnya wajah caleg itu begitu diludahi.
Kupikir caleg itu akan muntab dan menyuruh para pengawalnya untuk menghajar
Mbah Tresno. Nyatanya, si caleg tidak melakukan hal itu dan terus melanjutkan
dialognya. Setelah aku dewasa, aku baru menyadari, bahwa imej itu sangat
penting bagi calon wakil rakyat. Aku pun mengambil pelajaran: Jika kau ingin
meludahi calon wakil rakyat, masa-masa sebelum pemilihan adalah waktu yang
tepat untukmu, Kawan.
Hal kedua yang unik dari
Mbah Tresno adalah kegemarannya menggoda cewek. Walaupun usianya sudah melebihi
enam dasawarsa, Beliau masih setia hidup membujang dan kegemarannya itu tak
pernah hilang. Sering kulihat saat Beliau sedang memulung lalu bertemu anak
gadis, tak segan ia langsung bersiul, bergaya, dan bertingkah layaknya ayam
jago yang berupaya memikat hati ayam betina. Bukan main. Tangannya pun tak
tinggal diam. Pegang sana, pegang sini. Sungguh vulgar kelakuannya. Banyak anak
gadis yang mengadukan perilakunya yang kurang ajar itu pada Pak Kepala Desa,
tapi Pak Kepala Desa pun tak tahu harus berbuat apa pada Mbah Tresno. Menurut
kabar, Pak Kepala Desa tidak berani menindak Mbah Tresno karena Beliau adalah
keturunan dari orang yang mbabat alas di desa kami, yakni Mbah Brohim.
Apakah kau kira, karena Mbah Tresno adalah cucu dari orang yang
pertama kali membuka desa kami, lantas ia kaya raya dan bergelimang harta? Kau
salah besar, Kawan. Mbah Tresno tinggal di sebuah gubuk reyot di pinggir sawah.
Reyotnya sungguh bukan main. Diterjang angin ke barat, condong ke barat.
Diterjang angin ke utara, condong ke utara. Menurutku, kandang ayam milik Pak
Kepala Desa pun jauh lebih mewah daripada gubuk Mbah Tresno. Tak ada TV atau
peralatan elektronik lain di dalamnya. Satu-satunya alat buatan manusia yang
bekerja dengan energi listrik di gubuk Mbah Tresno adalah lampu dan radio tua.
Perabot yang ada di dalam gubuk itu pun hanya sebuah kasur kapuk tua yang sudah
sangat bau apek dan dipan bambu yang tergeletak di depan rumah, di bawah pohon
kers. Di dipan itulah, Mbah Tresno dan Pandir biasa bercengkrama. Sebetulnya,
warga disini sudah beramai-ramai mengumpulkan dana untuk merenovasi rumah
beliau. Tapi saat mau direnovasi, Mbah Tresno marah besar dan meludahi semua
orang yang ada disana. Bukan main. Beliau tidak kerso gubuknya itu
diubah-ubah.
Hari ini, aku ketiban sial. Di rumah hanya ada aku dan ibu. Kedua
adikku yang biasanya di rumah pun tak kelihatan batang hidungnya. Saat sedang
asyik berleyeh-leyeh ria, Ibu memanggilku dan menyuruhku mengantarkan makanan
ke rumah Mbah Tresno. Kawan, biasanya aku adalah anak yang berbakti dan
senantiasa membantu orangtua. Tapi kalau urusannya sudah menyinggung Mbah
Tresno atau Pandir, aku tak pernah mau ikut-ikutan. Waktu itu aku menolak
mentah-mentah, tapi Ibu tetap memaksaku untuk mengantarkan makanan itu. Aku
ingat betul, deg-degan yang kurasakan bahkan melebihi saat aku Ujian
Nasional dulu. Kalau disuruh memilih, aku lebih memilih mengerjakan Ujian
Nasional sampai 3 kali berturut-turut daripada harus mengantarkan makanan pada
Mbah Tresno. Apes, apes. Begitu pikirku waktu itu. Dari kejauhan, kulihat Mbah
Tresno sedang bercengkrama dengan seseorang di dipan bambunya. Setelah kulihat
secara seksama, ternyata yang bercengkrama dengan Mbah Tresno adalah Si Pandir!
Bukan main sialnya, begitu pikirku.
“Assalamualaikum,” sapaku pelan saat mendekati mereka berdua. Mbah
Tresno dan Pandir menatapku agak lama.
“Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatuh,” ucap mereka, hampir
berbarengan. Aku sudah menutup mataku, menyiapkan wajahku jadi sasaran tembakan
ludah dari Mbah Tresno. Nyatanya, Mbah Tresno hanya menatapku dan tersenyum
kecil padaku. Alhamdulillah, suasana hati beliau sedang baik, begitu
pikirku.
“Ono opo, Le?” tanya Mbah Tresno, sambil melihat sekilas
pada bungkusan yang kubawa. Cepat-cepat kutaruh bungkusan itu di samping Mbah
Tresno.
“Itu makanan dari Ibu, Mbah. Saya disuruh nganterin,” jawabku, tak
berani menatap langsung pada mereka berdua. Pandir sedari tadi hanya
manggut-manggut dan bermain-main dengan tongkat yang dibawanya. Sebenarnya, aku
ingin segera kabur dari tempat itu, takut kalau-kalau suasana hati Mbah Tresno
berubah drastis. Tapi Mbah Tresno malah menanyaiku, yang membuatku mengurungkan
niatku untuk pergi.
“Duduk sini, Le. Temani Simbah dan Mas Pandir ini ngobrol.”
Perkataan beliau membuatku langsung duduk di sampingnya. Bukan apa-apa, kalau
aku sampai menolaknya, waah, beliau bisa mengejar dan meludahiku sampai rumah.
Bisa runyam itu.
Mbah Tresno membuka bungkusan yang kubawa, lalu mencomot tahu goreng.
Pandir pun tak ketinggalan, langsung menggasak dua mendoan. Sambil asyik
mengunyah, Mbah Tresno bertanya padaku,”Kamu kelas berapa sekarang? Wes
punya pacar, Le?”
Ditanya seperti itu, aku tak berani berbohong. “Saya kuliah. Nggih,
saya punya pacar, Mbah.” Pandir langsung tertawa, keras sekali. Tempe yang sedang
ia kunyah pun muncrat kemana-mana. Mbah Tresno pun ikut tertawa, tapi tak
sekeras Pandir.
Sambil menghabiskan makanannya, Mbah Tresno berkata padaku, ”Nek
jaman Simbah ndisik, orang pacaran itu sepiring berdua. Nggak seperti
anak muda jaman sekarang. Kalo pacaran kok seranjang berdua.” Pandir tertawa
keras mendengar celetukan Mbah Tresno. Aku juga ikut tertawa kecil, tapi
pikiranku merenung. Memang sangat benar apa yang dikatakan oleh Mbah Tresno.
Pergaulan anak jaman sekarang memang sudah terlalu melampaui batas. Banyak
kulihat berita pemerkosaan, pencabulan, dan pelecehan seksual yang dilakukan
oleh anak muda dikarenakan kurangnya kontrol agama atas perilaku mereka.
Mbah Tresno kembali melanjutkan perkataannya, ”Wong urip itu
banyak cobaannya. Kalo buat anak muda, khususnya dirimu, Le, cobaannya berupa
cewek. Ndak ada gunanya kamu masang foto mesramu sama pacarmu di fesbuk
atau apalah itu, nggak perlu sama sekali. Luwih becik kamu masang fotomu
dan pacarmu di buku nikah, itu jauh lebih baik. Sunnah rasul juga.” Pandir
kembali tertawa terbahak-bahak, aku pun ikut-ikutan tertawa, tapi dalam hatiku,
aku merenung, memikirkan semua yang dikatakan Mbah Tresno.
“Yang namanya kuat itu,” Mbah Tresno kembali berujar, ”bukan orang
yang mampu mengangkat beban ratusan kilo. Bukan juga orang yang memenangkan
kompetisi tinju. Kuat itu, bila ada cah wedok ayu di depanmu, telanjang
dan mengajakmu berzina, tapi kamu menolaknya dan masih menjaga imanmu. Itu baru
dinamakan orang yang kuat.”
Aku manggut-manggut, mengiyakan. Dalam hati, aku mengiba pada Allah
Ta’ala. Gusti, hambamu ini adalah hamba yang paling kotor di dunia. Hamba
seringkali kalah dengan hawa nafsu hamba dan banyak melanggar
larangan-larangan-Mu. Maafkan hambamu ini, Gusti. Aku mohon ampunan-Mu. Astaghfirullah,
ucapku berkali-kali dalam hati.
Kali ini, giliran Pandir yang angkat bicara, ”Wong urip itu
seperti orang yang naik motor. Jangan kebanyakan lihat spion, nanti ndak
nabrak. Yang lalu, biarlah berlalu. Jangan banyak melihat ke belakang. Tatap ke
depan, tatap masa depan. Uripmu masih sangat panjang.” Pandir berkata
begitu seolah ia bisa membaca kata hatiku. Aku tersenyum dan manggut-manggut.
“Kalau nyari temen,” kata Pandir sambil mencomot mendoan, ”cari
yang bener. Yang namanya teman sejati itu bila kamu manggil temenmu pake
sebutan aneh-aneh, tapi mereka sama sekali nggak marah, malah makin akrab.
Bukan yang kelihatannya akrab, tapi di belakangmu mereka masih suka ngerasani
kamu.”
Bukan main. Nasehat dari mereka berdua memang cenderung memakai
bahasa yang kasar dan agak vulgar, tapi sangat mengena. Mbah Tresno menatapku
sebentar, merogoh kantong celananya, lalu mengeluarkan sebuah tasbih kecil.
“Ini hadiah buatmu karena sudah nganterin kami makanan. Wes
pulang sana, bilangin matur nuwun sama ibumu,” kata Beliau sambil
meludahi tanah di depanku. Aku hanya nyengir. Untung bukan mukaku yang kena
ludah, begitu pikirku.
“Matur nuwun, Mbah.” Aku mengantongi tasbih pemberian Mbah
Tresno, lalu beranjak pergi. “Assalamualaikum, Mbah, Ndir.”
“Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatuh,” jawab mereka berdua,
bersamaan.
Keesokannya, kampungku geger. Penyebabnya, ada puluhan mobil mewah
di kampungku. Ratusan orang datang. Banyak yang berjubah putih dan berjenggot
lebat, persis seperti orang Arab. Aku tak tahu darimana asal muasal mereka, dan
tak mau tahu. Tapi, percakapan antara tetanggaku dan Ibu yang tak sengaja
kudengar ternyata mengusik keingintahuanku juga.
“Eh, Mbak, tahu nggak? Katanya, orang-orang yang berdatangan ke
kampong kita itu berasal dari berbagai daerah di Indonesia lho!” kata Mbak
Jumir, tetangga sebelah. “Dan katanya juga, orang-orang yang berjubah putih dan
berjenggot panjang itu adalah para habaib lho!” Ah, dasar perempuan,
gerutuku dalam hati. Kalau sudah asyik bergosip, heboh sekali kelakuannya.
Ibuku ternyata penasaran juga. “Lha ada urusan apa mereka ke
kampung kita ini? Kok njanur kuning banget banyak orang yang datang ke
kampung kita yang nggak ada apa-apanya gini.”
Ditanyai begitu, Mbak Jumir bak bendungan yang jebol, langsung
nyerocos. “Mereka kemari itu karena nyari Mbah Tresno sama Si Pandir!”
Jegleeer! Terkaget-kagetlah aku. Perkataan terakhir dari Mbak Jumir
kontan membangkitkan rasa ingin tahuku. Aku pun ikut-ikutan nimbrung, hanya
sekedar untuk mendengarkan kabar.
“Kabarnya, Mbah Tresno itu bukan orang biasa, melainkan seorang waliyullah,
kekasih Allah. Yang mbabat alas di desa kita ini kan namanya Mbah
Brohim, nama lengkapnya ternyata Maulana Malik Ibrohim, salah satu dari Walisongo
yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Naah, Mbah Tresno itu nama
lengkapnya ternyata Habib Muhammad bin Umar bin Ahmad Assegaf, seorang habib
yang terkenal suka mengembara dan membaur dengan masyarakat. Jarene,
ilmu tasawufnya Mbah Tresno itu sangat tinggi, makanya Beliau berbuat yang
aneh-aneh gitu, biar disangka orang ndablek, padahal aslinya seorang
kekasih Allah. Sudah jadi kebiasaan, bila kedoknya terbongkar, maka Beliau
langsung meninggalkan daerah itu.”
Mbak Jumir berhenti sebentar, meminum teh anget yang
disuguhkan Ibu, lalu mulai berujar lagi, ”Nah, Si Pandir, yang kelihatannya
seperti orang gila dan suka bikin onar itu, kalo menurut kabar yang saya
dengar,” Mbak Jumir menunduk dan memelankan suaranya. Ibu dan aku ikut-ikutan
menundukkan kepala. Hebat benar tetanggaku ini dalam hal bergosip. Pintar nian
ia membuat orang penasaran. Mbak Jumir memasang tampang serius, lalu lanjut
berkata, ”Si Pandir itu, nama aslinya adalah Khidir alaihissalam, salah
seorang nabi yang katanya masih hidup sampai sekarang dan suka berkelana
kemana-mana!”
Aku hanya bisa melongo dan memegang erat kantong celanaku. Tanganku
bisa merasakan sebuah tasbih kecil disana.
2 komentar:
Keren lif, lanjutkan.
like this bang
Posting Komentar