Mas Alfa



“Pokoknya, aku nggak mau jadi kyai. Titik!” ucap Alfa pada Uminya yang selalu saja memaksanya untuk menjadi penerus sang Ayah, Romo Kyai Tamyiz Muktafa Bih, Sang Pemimpin Pesantren Dzul Fiqar Yogyakarta. Umi kembali menghela nafas panjang, geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak sulungnya yang menurutnya sangat amburadul itu.
“Lha kamu maunya jadi apa tho? Semua adekmu itu perempuan, nggak mungkin jadi penerus abahmu. Kamu mbok ya mikir dikit gitu lho,” balas Umi, tetap memegang teguh pendapatnya. Tapi, semakin Alfa dikekang, semakin ia melawan pula.
“Aku mau jadi rocker Mi! Tur musik keliling dunia, kayak band Muse gitu lho!” ucap Alfa bangga, sebaliknya membuat sang ibu kaget bukan kepalang. Weladalah, bocah iki wes gendheng jebul! batin Umi. Dia akhirnya menyadari ternyata sifat kepala batunya menurun pada anak sulungnya itu. Bukan kepala batu lagi, tapi kepala intan! Pekok-nya bukan main!
“Heh, bocah gendheng! Kamu itu punya akal mbok ya mikir. Kamu itu putra kyai besar, putra ulama kondang. Masak mau jadi bintang rock! Kamu mau ngajarin santri-santrimu ngaji Al-quran pake musik rock gitu?!”
“Halah Mi, Mi. Bocah gendheng gini ya anakmu kok!” Perkataan ringan Alfa membuat kepala ibunya makin puyeng. Gusti, Gusti, paringono sabar! batin Umi
“Ini apa tho, pagi-pagi kok udah perang dunia ketiga.” Sang ayah, Romo Kyai Tamyiz Muktafa Bih atau biasa dipanggil Abah Yiz datang menengahi. Alquran tua yang selalu dibacanya semenjak kecil terdekap erat di pelukannya. Umi menghela napas lega begitu suaminya itu keluar, karena Alfa semenjak dulu memang takluk sama ayahnya.
“Ini lho Bah, anakmu mbarep kok makin aneh wae kelakuannya. Masak mau jadi musikus rock! Apa nggak gendheng itu?” tanya Umi, berharap dukungan dari suaminya. Alfa menunduk, sesekali melirik abahnya yang terus memandangnya.
“Bener kamu mau jadi rocker, Le?” tanya Abah, sambil meletakkan Alqurannya di atas mejanya.
Nggih Bah,” jawab Alfa sambil tetap menunduk. Alfa mengira bahwa sang ayah akan memarahinya seperti uminya tadi. Ternyata sebaliknya. Abah Yiz hanya tersenyum ringan, lalu berkata,”Yowes terserah kamu. Kalo udah kun yo mesti kana.” Lalu Beliau ngeloyor pergi, membuat Umi melongo. Alfa tersenyum lebar mendengarnya.
Ternyata bapak anak sama-sama gendhenge!

Jenengan itu kenapa tho Bu? Kok sampe begini? tanya Mbak Jumir, santri senior yang jadi khodim sekaligus partner kepercayaan Umi, sambil memijat kening Umi. Walaupun usianya sudah 37 tahun (hampir sepantaran Umi yang berusia 38 tahun) dan sudah memiliki dua putra, Mbak Jumir tetap nyantri di Pondok Pesantren Dzul Fiqar. Itulah yang membuat Umi sangat menaruh kepercayaan padanya. Ditanyai begitu, Umi bak bendungan yang jebol terkena banjir bandang, langsung nyerocos.
“Itu lho Jum, Alfa anakku mbarep. Pas taktakoi mau jadi apa, eh, dia njawab mau jadi rocker! Apa nggak edan itu? Lha wong putrane kyai besar kok mau jadi rocker yang nggak jelas juntrungnya gitu,” keluh Umi, kembali memijat keningnya yang terasa puyeng.
Rocker itu apa tho Bu?” tanya Mbak Jumir polos. Maklumlah, Mbak Jumir SD saja tak lulus. Umi makin judeg saja mendengarnya.
Rocker itu pemain musik rock Jum, yang biasanya kelakuannya aneh-aneh. Rambut jabrik lah, pake tatto lah, yang suka pencilakan lah, ya yang kayak gitu.” Umi menerangkan dengan sabar.
“Oo, rocker itu pemain musik tho. Saya kira semacam kue. Itu lho Bu, yang gepeng tapi gurih,“ kata Mbak Jum, membuat Umi menghela napas panjang, kesabarannya sudah mau habis.
“Kalo itu cracker Jum,” ucap Umi. Gusti Allah, sampai kapan Kau akan memberiku cobaan yang mahaberat ini?
“Oo gitu tho. Lha ya nggak papa tho Bu, wong Bang Haji Rhoma Irama saja bisa jadi musikus sambil dakwah gitu kok. Buktinya, banyak yang masuk Islam dan tobat begitu dengar musiknya Bang Rhoma.” Perkataan ringan Mbak Jumir membuat Umi tertegun, tak menyangka perkataan sebijak itu akan keluar dari mulut Mbak Jumir yang biasanya bloon. Tapi Umi tetap tidak bisa menerima anaknya menjadi pemain musik semacam gitu.

“Wajahnya kok kusut gitu kenapa tho Bu? Kalo kebanyakan mikir ntar cepet tua lho Bu!” kelakar Mang Syu’eb, pedagang sayur keliling yang selalu menjadi langganannya. Umi menghela napas lagi, kembali teringat permasalahan pelik yang sedang merongrong pikirannya. Sekilas, dia memandang Mang Syu’eb dan tertawa sendiri dalam hati. Halah, Mang, Mang. Sampeyan itu masih 27 tahun tapi udah kelihatan seperti 40 tahun. Gitu kok ngomong soal awet muda!
“Itu lho Mang, anakku Alfa. Dia kok ya kepengen jadi rocker, bukannya jadi alim ulama atau apa seperti abahnya, eh lhadalah, malah kepengennya jadi seperti itu. Dasar anak jaman sekarang, nggak pernah mau belajar agama. Bikin mumet saja!” Umi kembali berkeluh kesah tentang Alfa. Mendengarnya Mang Syu’eb malah terlihat sumringah, membuat Umi jadi bingung.
“Whe lha ya bagus Bu! Saya ini pecinta musik rock, jadi kalo Mas Alfa beneran mau jadi musikus rock, wah, taktunggu karyanya Bu!”sahut Mang Syu’eb dengan antusias.
Haduh Gusti! Kok malah kulo makin mumet tho?
”Tapi Mas Alfa itu punya sesuatu yang istimewa lho Bu!” Ucapan tiba-tiba dari Mang Syu’eb membuat kening Umi berkerut, bingung.
“Maksudnya, Mang?” Umi penasaran dengan ucapan pedagang sayur itu.
”Kalo menurut saya pribadi, Bu, Mas Alfa itu bahkan punya kharisma yang bahkan melebihi Abah Yiz lho!” Mang Syu’eb menatap ke depan, lalu berkata lagi,” Saya sering lihat, Mas Alfa dolan ke perempatan jalan, nyambangin para anak-anak jalanan yang nggak keurus. Entah pake cara apa, anak-anak jalanan yang biasanya pencilakan itu kok ya nurut sama Mas Alfa, diajak sholat mau, diajak ngaji mau, diajak sholawatan pun mau. Saya salut lho Bu, sama kharismanya itu.”
Dalam hati, Umi setuju dengan perkataan Mang Syu’eb barusan. Anak laki-laki sulungnya itu memang dari kecil senang kumpul sama orang-orang, tak peduli latar belakang mereka. Dari pedagang hingga pejabat, dari anak jalanan hingga anak gedongan. Semuanya akrab dengan Alfa. Tapi soal karisma tadi, Umi tak yakin.
“Dan kalo soal Mas Alfa nggak mau belajar agama, kalo menurut saya kok ya kurang pas. Soalnya, saya juga sering lihat Mas Alfa baca kitab-kitab kuning, sering ikut muthola’ah kemana-mana. Mas Alfa juga sering mbadali pengajiannya Abah Yiz tho, kalo Abah Yiz sedang gerah atau ada urusan mendadak,” kata Mang Syu’eb, sambil menata dagangannya yang agak kocar-kacir. Umi kembali merenung begitu mendengarnya. Dia membenarkan semua yang dikatakan oleh Mang Syu’eb. Walaupun penampilan dan kelakuan Alfa sering amburadul, soal ilmu agama, Alfa memang tak pernah main-main. Hampir semua ilmu agama digelutinya. Tapi Umi tetap nggak kerso anak laki-laki satu-satunya itu menjadi rocker. Terlalu kontradiksi, menurutnya.

Seusai sholat malam berjamaah di kamar, Umi kembali menanyai Abah Yiz perihal Alfa.
Jenengan itu gimana tho Bah? Masak Alfa diijinin jadi pemain musik. Lha yang nerusin pesantren ini siapa? Shofia?” Umi kembali menyemprot suaminya yang menurutnya terlalu membebaskan anak-anaknya. Abah Yiz tersenyum kecil. Sambil melipat sajadahnya, beliau berujar dengan suaranya yang berat,”Kalaupun Shofia, anak kedua kita itu, yang nerusin pesantren ini, ya nggak papa tho? Apa salahnya seorang perempuan memimpin pesantren?”
Umi membuka mulutnya untuk menyanggah Abah Yiz, tapi Sang Romo Kyai itu kembali berujar,”Aku itu nggak mau memaksakan kehendak ke anak-anakku Mi. Kalaupun Alfa tetep nggak mau meneruskan pesantren ini, maka aku akan memilih orang lain yang kapabel untuk menjadi penerusku. Inilah yang pengen takterapkan di pesantrenku. Nggak mesti putra dari seorang kyai juga akan jadi kyai. Ra dumeh Alfa anakku yang bakal meneruskan pesantren ini. Tapi kok aku tetep yakin, cepat atau lambat, Alfa akan menjadi pemimpin pesantren ini.”
“Lha kok jenengan bisa seyakin itu Bah? Lha wong jelas-jelas Alfa itu tetep mau jadi pemain musik gitu kok,” kata Umi sambil melepas mukena yang dipakainya.
“Nek sudah kun yo mesti kana. Nek Gusti Allah wes dawuh ‘Terjadilah!’ yo mesti kedaden. Aku nggak bisa memberikan bukti, mungkin ini yang namanya firasat seorang orangtua Mi,” Abah Yiz menerawang ke depan sebentar. Romo Kyai yang sangat dihomati itu lalu melanjutkan perkataannya,”Semua orang itu punya jalannya sendiri-sendiri. Mungkin Alfa mau jadi rocker dulu, baru setelah itu dia mau meneruskan pesantren ini. Satu hal spesial yang taklihat dari anak kita itu adalah sifat toleransinya, pluralismenya. Dia nggak mau membeda-bedakan orang. Nggak peduli bajingan ataupun anak jalanan, semua dirangkulnya. Kalo menurutku, ini pendapatku pribadi lho Mi, Alfa itu mau jadi rocker supaya bisa merangkul pihak-pihak yang biasanya nggak terjamah oleh kita, ya seperti anak-anak jalanan dan orang-orang yang biasanya ada di perempatan jalan itu. Kalo orang-orang seperti itu nggak ada yang mengurus, ya mereka juga makin nggak keurus. Itulah spesialnya Alfa. Dia tetep mau merangkul mereka, mengurus mereka. Hasilnya, banyak dari mereka yang kini mau ngaji, mau ikut muthola’ah. Itu kan bagus tho? Alfa itu bener-bener seperti guruku, Romo Kyai Abdurrahman Wahid yang disebut-sebut sebagai Bapak Pluralisme.” Abah Yiz menaruh tasbihnya di atas meja dan beranjak menuju ke tempat tidur.
Tapi, Umi masih belum bisa menerima. Kepalanya terlalu ‘keras’ untuk menerima semua argumen-argumen yang diutarakan suaminya.

Saat makan siang, Abah Yiz menghampiri anak sulungnya yang sedang makan sambil nonton TV. Laki-laki tua itu meletakkan segelas susu cokelat anget, minuman kesukaan putranya itu, disampingnya.
“Kamu bener-bener serius mau jadi rocker, Le?” Abah membuka percakapan sambil menyulut rokok Dji Sam Soe-nya. Sambil tetap mengunyah, Alfa mengangguk, mengiyakan.
“Allah menciptakan langit dan bumi pasti ada alasannya. Begitu juga denganmu. Kamu mau jadi rocker, pasti ada alasan kuat di belakangnya. Nah, ceritakanlah semuanya pada Abah. Kalau Abah menganggap alasanmu masuk akal, Abah akan mengijinkanmu untuk menjadi yang kamu mau. Biar Abah nanti yang bicara sama ibumu jika Umi masih ra terimo,” kata Abah, mengembuskan asap rokok dari paru-parunya. Alfa menatap ayahnya, agak lama.
“Sebenernya,” Alfa berhenti sejenak untuk minum susu cokelat kesukaannya, lalu berkata lagi,”semua itu diawali oleh keprihatinan, Bah. Aku prihatin lihat para anak gelandangan, anak jalanan, dan pengemis di perempatan-perempatan itu. Mereka itu sebenernya pengen belajar, pengen ngaji, pengen merubah nasibnya supaya jadi lebih baik. Aslinya, mereka tuh pengen jadi manusia yang lebih baik dan produktif. Tapi mereka terlanjur dicap oleh masyarakat sebagai sampah, sebagai benalu, sebagai virus yang sudah selayaknya dimusnahkan. Naah, disinilah aku pengen menghilangkan semua stigma negatif itu. Banyak orang yang mengaku-ngaku sebagai seorang kyai, seorang ustadz, tapi saat mereka bertemu dengan orang-orang seperti itu, mereka langsung memandang mereka dengan sebelah mata.” Perkataan Alfa sebenarnya menohok Abah Yiz, membuat hati kecilnya tersentak. Beliau merasa tersindir dan tersadarkan, bahwa selama ini, secara langsung maupun tidak langsung, beliau sering memandang remeh para kaum minoritas, para orang marginal, padahal belum tentu dirinya lebih baik dari orang-orang tersebut. Gusti, ampunilah dosa-dosa hamba-Mu yang penuh kenistaan. Jauhkanlah hamba dari sifat takabbur ataupun tinggi hati, ya Allah, jerit hati kecil Abah Yiz.
  Alfa kembali meminum susu cokelatnya. “Mereka pun juga manusia, punya perasaan, punya hati, punya harga diri yang layak dihormati. Kalau mereka tidak diurus, tidak diajak belajar maupun ngaji, maka mereka pun jadi makin liar, makin tak terurus. Aku sering bertemu dengan anak-anak punk di jalanan. Dari luar, mereka memang seperti tak terurus. Rambut jabrik lah, celana bolong dimana-mana lah, baju yang entah suci atau najis lah. Tapi hatinya, Bah, mereka memiliki hati seorang santri. Sering kujumpai, mereka membantu orang tua yang kesulitan menyeberang jalan. Sering kulihat juga mereka membantu menyapu pelataran masjid yang kotor. Aku salut dengan orang-orang seperti itu, Bah. Dari luar terlihat seperti kotoran, tapi di dalamnya tersimpan mutiara. Makanya aku pengen jadi rocker, supaya bisa merangkul mereka, mengajak mereka ngaji dan belajar tentang agama, supaya mereka jadi lebih baik, dan anggapan jelek masyarakat terhadap mereka pun akan sirna.”
Mendengar penuturan panjang dari Alfa, Abah Yiz tersenyum lebar. Beliau tersadarkan oleh perkataan dari anak mbarepnya itu. Sambil mematikan rokoknya, Abah Yiz berujar pada Alfa,”Jadilah apapun yang kau suka, Le. Abah mengijinkanmu.”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mbah Tresno dan Pandir



Aku selalu melihat orang tua itu, berjalan sempoyongan, terkadang tertawa sendiri, tak jarang pula ia berteriak-teriak tak jelas. Semua orang di desa ini menyebutnya orang gila. Pakaiannya terdiri dari kain belacu yang sudah kumal, yang dilapisi dengan jas hitam penuh tambalan. Celana yang dikenakannya pun hanya celana olahraga yang sobek disana-sini. Bukan main lusuhnya. Satu waktu, ia membawa karung goni yang terisi rongsokan plastik. Di lain waktu, ia memegang tongkat yang ia ayunkan kesana kemari. Pak Khodir atau Pandir. Kudengar itulah namanya. Nama yang aneh, menurutku. Seaneh perilakunya. Bukan main anehnya. Sesekali, ia membantu warga menyapu halaman yang kotor. Tapi tak jarang pula, ia buang air di pelataran dan balkon rumah warga. Ada kalanya, ia senang bermain dengan anak-anak kecil disini. Tapi ada kalanya pula, ia akan mengejar dan melempari anak-anak itu dengan batu. Bukan main kelakuannya. Masyarakat bingung, apakah harus senang atau marah. Membiarkannya, atau mengusirnya. Memujinya, atau mencaci-maki dirinya. Walaupun perilakunya sangat aneh dan membingungkan, tapi ada satu hal yang kukagumi dari Pandir. Dia hafal Alquran! Bukan main! Pandir sering membaca Alquran secara tartil saat sedang berjalan-jalan dan bermain. Suaranya, di luar dugaan, sangat merdu. Sering Pandir ditanggap oleh warga untuk membaca Alquran atau sholawatan. Pak RT pernah menguji hafalan Alqurannya dengan menyebutkan beberapa ayat dari Alquran. Dengan mudahnya, Pandir meneruskan ayat yang ditanyakan oleh Pak RT (tentunya sambil bertingkah aneh, seperti ngupil dan sejenisnya). Hanya satu orang di desa ini yang bisa membuat Pandir nurut, yaitu Mbah Tresno.
Jangan kau kira Mbah Tresno itu orang yang yang galak karena berhasil ‘menjinakkan’ Pandir. Bukan. Jangan kau kira juga Mbah Tresno itu orang yang punya ilmu sakti mandraguna karena sukses ‘menundukkan’ Pandir. Sekali-kali, bukan, Kawan. Mbah Tresno sama ‘uniknya’ dengan Pandir.
Mbah Tresno sangat pas jika disesuaikan dengan julukan ‘Otot Kawat Balung Tok’. Sangat sesuai, kau tahu. Perawakannya tinggi tegap, tapi hampir tak ada daging yang menempel di tulang-belulangnya. Kulitnya hitam legam karena sering terpapar sinar matahari. Pekerjaannya sangat mulia dalam membantu berkurangnya sampah di muka bumi ini: Pemulung. Ada dua hal yang sangat khas dan dikenal oleh semua orang di desa ini dari Mbah Tresno. Yang pertama adalah meludah. Ya, meludah. Tak peduli tempat, tak peduli waktu, tak peduli siapa. Mbah Tresno akan meludahi siapa saja dan dimana saja saat beliau tak berkenan atau sedang marah. Pak Kepala Desa dan salah satu tokoh agama di desa ini pun tak luput dari ‘tembakan’ ludahnya. Pernah dulu, ada seorang calon legislatif yang berkunjung ke desa kami ini. Maklumlah, saat itu mendekati waktu pemilihan umum dan banyak caleg yang tebar pesona di desa kami. Tak dinyana, tak disangka, tiba-tiba Mbah Tresno njedul dan tanpa tedeng aling-aling langsung meludahi wajah si caleg. Bukan main merahnya wajah caleg itu begitu diludahi. Kupikir caleg itu akan muntab dan menyuruh para pengawalnya untuk menghajar Mbah Tresno. Nyatanya, si caleg tidak melakukan hal itu dan terus melanjutkan dialognya. Setelah aku dewasa, aku baru menyadari, bahwa imej itu sangat penting bagi calon wakil rakyat. Aku pun mengambil pelajaran: Jika kau ingin meludahi calon wakil rakyat, masa-masa sebelum pemilihan adalah waktu yang tepat untukmu, Kawan.
Hal  kedua yang unik dari Mbah Tresno adalah kegemarannya menggoda cewek. Walaupun usianya sudah melebihi enam dasawarsa, Beliau masih setia hidup membujang dan kegemarannya itu tak pernah hilang. Sering kulihat saat Beliau sedang memulung lalu bertemu anak gadis, tak segan ia langsung bersiul, bergaya, dan bertingkah layaknya ayam jago yang berupaya memikat hati ayam betina. Bukan main. Tangannya pun tak tinggal diam. Pegang sana, pegang sini. Sungguh vulgar kelakuannya. Banyak anak gadis yang mengadukan perilakunya yang kurang ajar itu pada Pak Kepala Desa, tapi Pak Kepala Desa pun tak tahu harus berbuat apa pada Mbah Tresno. Menurut kabar, Pak Kepala Desa tidak berani menindak Mbah Tresno karena Beliau adalah keturunan dari orang yang mbabat alas di desa kami, yakni Mbah Brohim.
Apakah kau kira, karena Mbah Tresno adalah cucu dari orang yang pertama kali membuka desa kami, lantas ia kaya raya dan bergelimang harta? Kau salah besar, Kawan. Mbah Tresno tinggal di sebuah gubuk reyot di pinggir sawah. Reyotnya sungguh bukan main. Diterjang angin ke barat, condong ke barat. Diterjang angin ke utara, condong ke utara. Menurutku, kandang ayam milik Pak Kepala Desa pun jauh lebih mewah daripada gubuk Mbah Tresno. Tak ada TV atau peralatan elektronik lain di dalamnya. Satu-satunya alat buatan manusia yang bekerja dengan energi listrik di gubuk Mbah Tresno adalah lampu dan radio tua. Perabot yang ada di dalam gubuk itu pun hanya sebuah kasur kapuk tua yang sudah sangat bau apek dan dipan bambu yang tergeletak di depan rumah, di bawah pohon kers. Di dipan itulah, Mbah Tresno dan Pandir biasa bercengkrama. Sebetulnya, warga disini sudah beramai-ramai mengumpulkan dana untuk merenovasi rumah beliau. Tapi saat mau direnovasi, Mbah Tresno marah besar dan meludahi semua orang yang ada disana. Bukan main. Beliau tidak kerso gubuknya itu diubah-ubah.
Hari ini, aku ketiban sial. Di rumah hanya ada aku dan ibu. Kedua adikku yang biasanya di rumah pun tak kelihatan batang hidungnya. Saat sedang asyik berleyeh-leyeh ria, Ibu memanggilku dan menyuruhku mengantarkan makanan ke rumah Mbah Tresno. Kawan, biasanya aku adalah anak yang berbakti dan senantiasa membantu orangtua. Tapi kalau urusannya sudah menyinggung Mbah Tresno atau Pandir, aku tak pernah mau ikut-ikutan. Waktu itu aku menolak mentah-mentah, tapi Ibu tetap memaksaku untuk mengantarkan makanan itu. Aku ingat betul, deg-degan yang kurasakan bahkan melebihi saat aku Ujian Nasional dulu. Kalau disuruh memilih, aku lebih memilih mengerjakan Ujian Nasional sampai 3 kali berturut-turut daripada harus mengantarkan makanan pada Mbah Tresno. Apes, apes. Begitu pikirku waktu itu. Dari kejauhan, kulihat Mbah Tresno sedang bercengkrama dengan seseorang di dipan bambunya. Setelah kulihat secara seksama, ternyata yang bercengkrama dengan Mbah Tresno adalah Si Pandir! Bukan main sialnya, begitu pikirku.
“Assalamualaikum,” sapaku pelan saat mendekati mereka berdua. Mbah Tresno dan Pandir menatapku agak lama.
“Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatuh,” ucap mereka, hampir berbarengan. Aku sudah menutup mataku, menyiapkan wajahku jadi sasaran tembakan ludah dari Mbah Tresno. Nyatanya, Mbah Tresno hanya menatapku dan tersenyum kecil padaku. Alhamdulillah, suasana hati beliau sedang baik, begitu pikirku.
Ono opo, Le?” tanya Mbah Tresno, sambil melihat sekilas pada bungkusan yang kubawa. Cepat-cepat kutaruh bungkusan itu di samping Mbah Tresno.
“Itu makanan dari Ibu, Mbah. Saya disuruh nganterin,” jawabku, tak berani menatap langsung pada mereka berdua. Pandir sedari tadi hanya manggut-manggut dan bermain-main dengan tongkat yang dibawanya. Sebenarnya, aku ingin segera kabur dari tempat itu, takut kalau-kalau suasana hati Mbah Tresno berubah drastis. Tapi Mbah Tresno malah menanyaiku, yang membuatku mengurungkan niatku untuk pergi.
“Duduk sini, Le. Temani Simbah dan Mas Pandir ini ngobrol.” Perkataan beliau membuatku langsung duduk di sampingnya. Bukan apa-apa, kalau aku sampai menolaknya, waah, beliau bisa mengejar dan meludahiku sampai rumah. Bisa runyam itu.
Mbah Tresno membuka bungkusan yang kubawa, lalu mencomot tahu goreng. Pandir pun tak ketinggalan, langsung menggasak dua mendoan. Sambil asyik mengunyah, Mbah Tresno bertanya padaku,”Kamu kelas berapa sekarang? Wes punya pacar, Le?”
Ditanya seperti itu, aku tak berani berbohong. “Saya kuliah. Nggih, saya punya pacar, Mbah.” Pandir langsung tertawa, keras sekali. Tempe yang sedang ia kunyah pun muncrat kemana-mana. Mbah Tresno pun ikut tertawa, tapi tak sekeras Pandir.
Sambil menghabiskan makanannya, Mbah Tresno berkata padaku, ”Nek jaman Simbah ndisik, orang pacaran itu sepiring berdua. Nggak seperti anak muda jaman sekarang. Kalo pacaran kok seranjang berdua.” Pandir tertawa keras mendengar celetukan Mbah Tresno. Aku juga ikut tertawa kecil, tapi pikiranku merenung. Memang sangat benar apa yang dikatakan oleh Mbah Tresno. Pergaulan anak jaman sekarang memang sudah terlalu melampaui batas. Banyak kulihat berita pemerkosaan, pencabulan, dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak muda dikarenakan kurangnya kontrol agama atas perilaku mereka.
Mbah Tresno kembali melanjutkan perkataannya, ”Wong urip itu banyak cobaannya. Kalo buat anak muda, khususnya dirimu, Le, cobaannya berupa cewek. Ndak ada gunanya kamu masang foto mesramu sama pacarmu di fesbuk atau apalah itu, nggak perlu sama sekali. Luwih becik kamu masang fotomu dan pacarmu di buku nikah, itu jauh lebih baik. Sunnah rasul juga.” Pandir kembali tertawa terbahak-bahak, aku pun ikut-ikutan tertawa, tapi dalam hatiku, aku merenung, memikirkan semua yang dikatakan Mbah Tresno.
“Yang namanya kuat itu,” Mbah Tresno kembali berujar, ”bukan orang yang mampu mengangkat beban ratusan kilo. Bukan juga orang yang memenangkan kompetisi tinju. Kuat itu, bila ada cah wedok ayu di depanmu, telanjang dan mengajakmu berzina, tapi kamu menolaknya dan masih menjaga imanmu. Itu baru dinamakan orang yang kuat.”
Aku manggut-manggut, mengiyakan. Dalam hati, aku mengiba pada Allah Ta’ala. Gusti, hambamu ini adalah hamba yang paling kotor di dunia. Hamba seringkali kalah dengan hawa nafsu hamba dan banyak melanggar larangan-larangan-Mu. Maafkan hambamu ini, Gusti. Aku mohon ampunan-Mu. Astaghfirullah, ucapku berkali-kali dalam hati.
Kali ini, giliran Pandir yang angkat bicara, ”Wong urip itu seperti orang yang naik motor. Jangan kebanyakan lihat spion, nanti ndak nabrak. Yang lalu, biarlah berlalu. Jangan banyak melihat ke belakang. Tatap ke depan, tatap masa depan. Uripmu masih sangat panjang.” Pandir berkata begitu seolah ia bisa membaca kata hatiku. Aku tersenyum dan manggut-manggut.
“Kalau nyari temen,” kata Pandir sambil mencomot mendoan, ”cari yang bener. Yang namanya teman sejati itu bila kamu manggil temenmu pake sebutan aneh-aneh, tapi mereka sama sekali nggak marah, malah makin akrab. Bukan yang kelihatannya akrab, tapi di belakangmu mereka masih suka ngerasani kamu.”
Bukan main. Nasehat dari mereka berdua memang cenderung memakai bahasa yang kasar dan agak vulgar, tapi sangat mengena. Mbah Tresno menatapku sebentar, merogoh kantong celananya, lalu mengeluarkan sebuah tasbih kecil.
“Ini hadiah buatmu karena sudah nganterin kami makanan. Wes pulang sana, bilangin matur nuwun sama ibumu,” kata Beliau sambil meludahi tanah di depanku. Aku hanya nyengir. Untung bukan mukaku yang kena ludah, begitu pikirku.
Matur nuwun, Mbah.” Aku mengantongi tasbih pemberian Mbah Tresno, lalu beranjak pergi. “Assalamualaikum, Mbah, Ndir.”
“Waalaikum salam warohmatullahi wabarokatuh,” jawab mereka berdua, bersamaan.

Keesokannya, kampungku geger. Penyebabnya, ada puluhan mobil mewah di kampungku. Ratusan orang datang. Banyak yang berjubah putih dan berjenggot lebat, persis seperti orang Arab. Aku tak tahu darimana asal muasal mereka, dan tak mau tahu. Tapi, percakapan antara tetanggaku dan Ibu yang tak sengaja kudengar ternyata mengusik keingintahuanku juga.
“Eh, Mbak, tahu nggak? Katanya, orang-orang yang berdatangan ke kampong kita itu berasal dari berbagai daerah di Indonesia lho!” kata Mbak Jumir, tetangga sebelah. “Dan katanya juga, orang-orang yang berjubah putih dan berjenggot panjang itu adalah para habaib lho!” Ah, dasar perempuan, gerutuku dalam hati. Kalau sudah asyik bergosip, heboh sekali kelakuannya.
Ibuku ternyata penasaran juga. “Lha ada urusan apa mereka ke kampung kita ini? Kok njanur kuning banget banyak orang yang datang ke kampung kita yang nggak ada apa-apanya gini.”
Ditanyai begitu, Mbak Jumir bak bendungan yang jebol, langsung nyerocos. “Mereka kemari itu karena nyari Mbah Tresno sama Si Pandir!”
Jegleeer! Terkaget-kagetlah aku. Perkataan terakhir dari Mbak Jumir kontan membangkitkan rasa ingin tahuku. Aku pun ikut-ikutan nimbrung, hanya sekedar untuk mendengarkan kabar.
“Kabarnya, Mbah Tresno itu bukan orang biasa, melainkan seorang waliyullah, kekasih Allah. Yang mbabat alas di desa kita ini kan namanya Mbah Brohim, nama lengkapnya ternyata Maulana Malik Ibrohim, salah satu dari Walisongo yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Naah, Mbah Tresno itu nama lengkapnya ternyata Habib Muhammad bin Umar bin Ahmad Assegaf, seorang habib yang terkenal suka mengembara dan membaur dengan masyarakat. Jarene, ilmu tasawufnya Mbah Tresno itu sangat tinggi, makanya Beliau berbuat yang aneh-aneh gitu, biar disangka orang ndablek, padahal aslinya seorang kekasih Allah. Sudah jadi kebiasaan, bila kedoknya terbongkar, maka Beliau langsung meninggalkan daerah itu.”
Mbak Jumir berhenti sebentar, meminum teh anget yang disuguhkan Ibu, lalu mulai berujar lagi, ”Nah, Si Pandir, yang kelihatannya seperti orang gila dan suka bikin onar itu, kalo menurut kabar yang saya dengar,” Mbak Jumir menunduk dan memelankan suaranya. Ibu dan aku ikut-ikutan menundukkan kepala. Hebat benar tetanggaku ini dalam hal bergosip. Pintar nian ia membuat orang penasaran. Mbak Jumir memasang tampang serius, lalu lanjut berkata, ”Si Pandir itu, nama aslinya adalah Khidir alaihissalam, salah seorang nabi yang katanya masih hidup sampai sekarang dan suka berkelana kemana-mana!”
Aku hanya bisa melongo dan memegang erat kantong celanaku. Tanganku bisa merasakan sebuah tasbih kecil disana.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS