“Pokoknya, aku nggak mau jadi kyai. Titik!” ucap Alfa pada Uminya yang
selalu saja memaksanya untuk menjadi penerus sang Ayah, Romo Kyai Tamyiz Muktafa
Bih, Sang Pemimpin Pesantren Dzul Fiqar Yogyakarta. Umi kembali menghela nafas
panjang, geleng-geleng kepala melihat kelakuan anak sulungnya yang menurutnya
sangat amburadul itu.
“Lha kamu maunya jadi apa tho? Semua adekmu itu perempuan,
nggak mungkin jadi penerus abahmu. Kamu mbok ya mikir dikit gitu lho,” balas
Umi, tetap memegang teguh pendapatnya. Tapi, semakin Alfa dikekang, semakin ia
melawan pula.
“Aku mau jadi rocker Mi! Tur musik keliling dunia, kayak
band Muse gitu lho!” ucap Alfa bangga, sebaliknya membuat sang ibu kaget bukan
kepalang. Weladalah, bocah iki wes gendheng jebul! batin Umi. Dia
akhirnya menyadari ternyata sifat kepala batunya menurun pada anak sulungnya
itu. Bukan kepala batu lagi, tapi kepala intan! Pekok-nya bukan main!
“Heh, bocah gendheng! Kamu itu punya akal mbok ya
mikir. Kamu itu putra kyai besar, putra ulama kondang. Masak mau jadi bintang
rock! Kamu mau ngajarin santri-santrimu ngaji Al-quran pake musik rock
gitu?!”
“Halah Mi, Mi. Bocah gendheng gini ya anakmu kok!” Perkataan
ringan Alfa membuat kepala ibunya makin puyeng. Gusti, Gusti, paringono
sabar! batin Umi
“Ini apa tho, pagi-pagi kok udah perang dunia ketiga.” Sang
ayah, Romo Kyai Tamyiz Muktafa Bih atau biasa dipanggil Abah Yiz datang
menengahi. Alquran tua yang selalu dibacanya semenjak kecil terdekap erat di
pelukannya. Umi menghela napas lega begitu suaminya itu keluar, karena Alfa semenjak
dulu memang takluk sama ayahnya.
“Ini lho Bah, anakmu mbarep kok makin aneh wae
kelakuannya. Masak mau jadi musikus rock! Apa nggak gendheng itu?”
tanya Umi, berharap dukungan dari suaminya. Alfa menunduk, sesekali melirik
abahnya yang terus memandangnya.
“Bener kamu mau jadi rocker, Le?” tanya Abah, sambil meletakkan Alqurannya
di atas mejanya.
“Nggih Bah,” jawab Alfa sambil tetap menunduk. Alfa mengira
bahwa sang ayah akan memarahinya seperti uminya tadi. Ternyata sebaliknya. Abah
Yiz hanya tersenyum ringan, lalu berkata,”Yowes terserah kamu. Kalo udah
kun yo mesti kana.” Lalu Beliau ngeloyor pergi, membuat Umi melongo.
Alfa tersenyum lebar mendengarnya.
Ternyata bapak anak sama-sama gendhenge!
“Jenengan itu kenapa tho Bu? Kok sampe begini? tanya
Mbak Jumir, santri senior yang jadi khodim sekaligus partner kepercayaan
Umi, sambil memijat kening Umi. Walaupun usianya sudah 37 tahun (hampir
sepantaran Umi yang berusia 38 tahun) dan sudah memiliki dua putra, Mbak Jumir tetap
nyantri di Pondok Pesantren Dzul Fiqar. Itulah yang membuat Umi sangat menaruh
kepercayaan padanya. Ditanyai begitu, Umi bak bendungan yang jebol terkena
banjir bandang, langsung nyerocos.
“Itu lho Jum, Alfa anakku mbarep. Pas taktakoi mau
jadi apa, eh, dia njawab mau jadi rocker! Apa nggak edan itu? Lha wong putrane
kyai besar kok mau jadi rocker yang nggak jelas juntrungnya gitu,” keluh
Umi, kembali memijat keningnya yang terasa puyeng.
“Rocker itu apa tho Bu?” tanya Mbak Jumir polos. Maklumlah,
Mbak Jumir SD saja tak lulus. Umi makin judeg saja mendengarnya.
“Rocker itu pemain musik rock Jum, yang biasanya
kelakuannya aneh-aneh. Rambut jabrik lah, pake tatto lah, yang suka pencilakan
lah, ya yang kayak gitu.” Umi menerangkan dengan sabar.
“Oo, rocker itu pemain musik tho. Saya kira semacam
kue. Itu lho Bu, yang gepeng tapi gurih,“ kata Mbak Jum, membuat Umi menghela
napas panjang, kesabarannya sudah mau habis.
“Kalo itu cracker Jum,” ucap Umi. Gusti Allah, sampai
kapan Kau akan memberiku cobaan yang mahaberat ini?
“Oo gitu tho. Lha ya nggak papa tho Bu, wong
Bang Haji Rhoma Irama saja bisa jadi musikus sambil dakwah gitu kok. Buktinya,
banyak yang masuk Islam dan tobat begitu dengar musiknya Bang Rhoma.” Perkataan
ringan Mbak Jumir membuat Umi tertegun, tak menyangka perkataan sebijak itu
akan keluar dari mulut Mbak Jumir yang biasanya bloon. Tapi Umi tetap tidak
bisa menerima anaknya menjadi pemain musik semacam gitu.
“Wajahnya kok kusut gitu kenapa tho Bu? Kalo kebanyakan
mikir ntar cepet tua lho Bu!” kelakar Mang Syu’eb, pedagang sayur
keliling yang selalu menjadi langganannya. Umi menghela napas lagi, kembali
teringat permasalahan pelik yang sedang merongrong pikirannya. Sekilas, dia
memandang Mang Syu’eb dan tertawa sendiri dalam hati. Halah, Mang, Mang.
Sampeyan itu masih 27 tahun tapi udah kelihatan seperti 40 tahun. Gitu kok
ngomong soal awet muda!
“Itu lho Mang, anakku Alfa. Dia kok ya kepengen jadi rocker,
bukannya jadi alim ulama atau apa seperti abahnya, eh lhadalah, malah
kepengennya jadi seperti itu. Dasar anak jaman sekarang, nggak pernah mau
belajar agama. Bikin mumet saja!” Umi kembali berkeluh kesah tentang Alfa.
Mendengarnya Mang Syu’eb malah terlihat sumringah, membuat Umi jadi bingung.
“Whe lha ya bagus Bu! Saya ini pecinta musik rock, jadi kalo
Mas Alfa beneran mau jadi musikus rock, wah, taktunggu karyanya
Bu!”sahut Mang Syu’eb dengan antusias.
Haduh Gusti! Kok malah kulo makin mumet tho?
”Tapi Mas Alfa itu punya sesuatu yang istimewa lho Bu!” Ucapan
tiba-tiba dari Mang Syu’eb membuat kening Umi berkerut, bingung.
“Maksudnya, Mang?” Umi penasaran dengan ucapan pedagang sayur itu.
”Kalo menurut saya pribadi, Bu, Mas Alfa itu bahkan punya kharisma
yang bahkan melebihi Abah Yiz lho!” Mang Syu’eb menatap ke depan, lalu berkata
lagi,” Saya sering lihat, Mas Alfa dolan ke perempatan jalan, nyambangin para
anak-anak jalanan yang nggak keurus. Entah pake cara apa, anak-anak jalanan
yang biasanya pencilakan itu kok ya nurut sama Mas Alfa, diajak sholat
mau, diajak ngaji mau, diajak sholawatan pun mau. Saya salut lho Bu, sama
kharismanya itu.”
Dalam hati, Umi setuju dengan perkataan Mang Syu’eb barusan. Anak laki-laki
sulungnya itu memang dari kecil senang kumpul sama orang-orang, tak peduli
latar belakang mereka. Dari pedagang hingga pejabat, dari anak jalanan hingga
anak gedongan. Semuanya akrab dengan Alfa. Tapi soal karisma tadi, Umi tak yakin.
“Dan kalo soal Mas Alfa nggak mau belajar agama, kalo menurut saya
kok ya kurang pas. Soalnya, saya juga sering lihat Mas Alfa baca kitab-kitab
kuning, sering ikut muthola’ah kemana-mana. Mas Alfa juga sering mbadali
pengajiannya Abah Yiz tho, kalo Abah Yiz sedang gerah atau ada
urusan mendadak,” kata Mang Syu’eb, sambil menata dagangannya yang agak
kocar-kacir. Umi kembali merenung begitu mendengarnya. Dia membenarkan semua
yang dikatakan oleh Mang Syu’eb. Walaupun penampilan dan kelakuan Alfa sering amburadul,
soal ilmu agama, Alfa memang tak pernah main-main. Hampir semua ilmu agama
digelutinya. Tapi Umi tetap nggak kerso anak laki-laki satu-satunya itu
menjadi rocker. Terlalu kontradiksi, menurutnya.
Seusai sholat malam berjamaah di kamar, Umi kembali menanyai Abah
Yiz perihal Alfa.
“Jenengan itu gimana tho Bah? Masak Alfa diijinin
jadi pemain musik. Lha yang nerusin pesantren ini siapa? Shofia?” Umi kembali
menyemprot suaminya yang menurutnya terlalu membebaskan anak-anaknya. Abah Yiz
tersenyum kecil. Sambil melipat sajadahnya, beliau berujar dengan suaranya yang
berat,”Kalaupun Shofia, anak kedua kita itu, yang nerusin pesantren ini, ya
nggak papa tho? Apa salahnya seorang perempuan memimpin pesantren?”
Umi membuka mulutnya untuk menyanggah Abah Yiz, tapi Sang Romo Kyai
itu kembali berujar,”Aku itu nggak mau memaksakan kehendak ke anak-anakku Mi.
Kalaupun Alfa tetep nggak mau meneruskan pesantren ini, maka aku akan memilih
orang lain yang kapabel untuk menjadi penerusku. Inilah yang pengen takterapkan
di pesantrenku. Nggak mesti putra dari seorang kyai juga akan jadi kyai. Ra
dumeh Alfa anakku yang bakal meneruskan pesantren ini. Tapi kok aku tetep
yakin, cepat atau lambat, Alfa akan menjadi pemimpin pesantren ini.”
“Lha kok jenengan bisa seyakin itu Bah? Lha wong jelas-jelas
Alfa itu tetep mau jadi pemain musik gitu kok,” kata Umi sambil melepas mukena
yang dipakainya.
“Nek sudah kun yo mesti kana. Nek Gusti Allah wes
dawuh ‘Terjadilah!’ yo mesti kedaden. Aku nggak bisa memberikan
bukti, mungkin ini yang namanya firasat seorang orangtua Mi,” Abah Yiz
menerawang ke depan sebentar. Romo Kyai yang sangat dihomati itu lalu
melanjutkan perkataannya,”Semua orang itu punya jalannya sendiri-sendiri.
Mungkin Alfa mau jadi rocker dulu, baru setelah itu dia mau meneruskan
pesantren ini. Satu hal spesial yang taklihat dari anak kita itu adalah
sifat toleransinya, pluralismenya. Dia nggak mau membeda-bedakan orang. Nggak
peduli bajingan ataupun anak jalanan, semua dirangkulnya. Kalo menurutku, ini
pendapatku pribadi lho Mi, Alfa itu mau jadi rocker supaya bisa merangkul
pihak-pihak yang biasanya nggak terjamah oleh kita, ya seperti anak-anak
jalanan dan orang-orang yang biasanya ada di perempatan jalan itu. Kalo
orang-orang seperti itu nggak ada yang mengurus, ya mereka juga makin nggak
keurus. Itulah spesialnya Alfa. Dia tetep mau merangkul mereka, mengurus
mereka. Hasilnya, banyak dari mereka yang kini mau ngaji, mau ikut muthola’ah.
Itu kan bagus tho? Alfa itu bener-bener seperti guruku, Romo Kyai
Abdurrahman Wahid yang disebut-sebut sebagai Bapak Pluralisme.” Abah Yiz
menaruh tasbihnya di atas meja dan beranjak menuju ke tempat tidur.
Tapi, Umi masih belum bisa menerima. Kepalanya terlalu ‘keras’
untuk menerima semua argumen-argumen yang diutarakan suaminya.
Saat makan siang, Abah Yiz menghampiri anak sulungnya yang sedang
makan sambil nonton TV. Laki-laki tua itu meletakkan segelas susu cokelat anget,
minuman kesukaan putranya itu, disampingnya.
“Kamu bener-bener serius mau jadi rocker, Le?” Abah membuka
percakapan sambil menyulut rokok Dji Sam Soe-nya. Sambil tetap mengunyah, Alfa
mengangguk, mengiyakan.
“Allah menciptakan langit dan bumi pasti ada alasannya. Begitu juga
denganmu. Kamu mau jadi rocker, pasti ada alasan kuat di belakangnya. Nah,
ceritakanlah semuanya pada Abah. Kalau Abah menganggap alasanmu masuk akal,
Abah akan mengijinkanmu untuk menjadi yang kamu mau. Biar Abah nanti yang
bicara sama ibumu jika Umi masih ra terimo,” kata Abah, mengembuskan
asap rokok dari paru-parunya. Alfa menatap ayahnya, agak lama.
“Sebenernya,” Alfa berhenti sejenak untuk minum susu cokelat
kesukaannya, lalu berkata lagi,”semua itu diawali oleh keprihatinan, Bah. Aku
prihatin lihat para anak gelandangan, anak jalanan, dan pengemis di perempatan-perempatan
itu. Mereka itu sebenernya pengen belajar, pengen ngaji, pengen merubah
nasibnya supaya jadi lebih baik. Aslinya, mereka tuh pengen jadi manusia yang
lebih baik dan produktif. Tapi mereka terlanjur dicap oleh masyarakat sebagai
sampah, sebagai benalu, sebagai virus yang sudah selayaknya dimusnahkan. Naah,
disinilah aku pengen menghilangkan semua stigma negatif itu. Banyak orang yang
mengaku-ngaku sebagai seorang kyai, seorang ustadz, tapi saat mereka bertemu
dengan orang-orang seperti itu, mereka langsung memandang mereka dengan sebelah
mata.” Perkataan Alfa sebenarnya menohok Abah Yiz, membuat hati kecilnya
tersentak. Beliau merasa tersindir dan tersadarkan, bahwa selama ini, secara
langsung maupun tidak langsung, beliau sering memandang remeh para kaum
minoritas, para orang marginal, padahal belum tentu dirinya lebih baik dari
orang-orang tersebut. Gusti, ampunilah dosa-dosa hamba-Mu yang penuh
kenistaan. Jauhkanlah hamba dari sifat takabbur ataupun tinggi hati, ya Allah,
jerit hati kecil Abah Yiz.
Alfa kembali meminum susu cokelatnya. “Mereka
pun juga manusia, punya perasaan, punya hati, punya harga diri yang layak
dihormati. Kalau mereka tidak diurus, tidak diajak belajar maupun ngaji, maka
mereka pun jadi makin liar, makin tak terurus. Aku sering bertemu dengan
anak-anak punk di jalanan. Dari luar, mereka memang seperti tak terurus.
Rambut jabrik lah, celana bolong dimana-mana lah, baju yang entah suci atau
najis lah. Tapi hatinya, Bah, mereka memiliki hati seorang santri. Sering
kujumpai, mereka membantu orang tua yang kesulitan menyeberang jalan. Sering
kulihat juga mereka membantu menyapu pelataran masjid yang kotor. Aku salut
dengan orang-orang seperti itu, Bah. Dari luar terlihat seperti kotoran, tapi
di dalamnya tersimpan mutiara. Makanya aku pengen jadi rocker, supaya
bisa merangkul mereka, mengajak mereka ngaji dan belajar tentang agama, supaya
mereka jadi lebih baik, dan anggapan jelek masyarakat terhadap mereka pun akan
sirna.”
Mendengar penuturan panjang dari Alfa, Abah Yiz tersenyum lebar.
Beliau tersadarkan oleh perkataan dari anak mbarepnya itu. Sambil
mematikan rokoknya, Abah Yiz berujar pada Alfa,”Jadilah apapun yang kau suka,
Le. Abah mengijinkanmu.”